Perjalanan ke Bali berawal dari sebuah mimpi yang berumur 120 bulan. Perkenalan dengan Bali terutama Pantai Kuta bermula dari buku-buku yang saya baca sewaktu SD. Entah bagaimana caranya Bali menjadi semacam magnet yang mempunyai daya magis sangat tinggi sejak 120 bulan yang lalu. Hingga kemudian mimpi tentang Bali (sebagaimana mimpi tentang Malino) dituntaskan dengan sangat manis oleh Yang Maha Kuasa pada 27 - 31 Agustus 2019. Pada tanggal itu, bertemu 1614 ilmuwan muda di Bali untuk Indonesia yang lebih baik.
Garuda Wisnu Kencana Cultural Park
Garuda Wisnu Kencana Cultural Park dibangun di daerah selatan Bali di atas batugamping yang terangkat ke permukaan air laut pada Pliosen Akhir. Memasuki GWK tampak lorong-lorong batugamping yang dipahat menjulang di kiri dan kanan. Berbelok ke arah timur, terdapat singkapan batugamping yang tersesarkan. Kandungan fosil dalam batugamping membawa pengunjung ke kala Miosen.
Bila anda berdiri di GWK berarti anda berdiri di atas batuan berumur sekitar 20 juta tahun lalu yang terbentuk di laut dan terangkat ke permukaan 1,8 juta tahun lalu. Taman budaya yang dibangun selama 28 tahun ini tidak hanya menyuguhkan keindahan dan kekayaan budaya. Fenomena geologi dan proses yang bermain di dalamnya adalah daya tarik lain GWK.
Kami mengunjungi GWK saat pembukaan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 32 yang dilaksanakan di Universitas Udayana. Kegiatan PIMNAS 32 (presentasi dan pameran poster) dilaksanakan di kampus Udayana. Penutupan dilaksanakan di Taman Werdhi Budaya Art Centre. Kegiatan akademik di Bali dilanjutkan dengan melancong ke produk marin di selatan.
Pantai Kuta
Pertama ke Kuta kami datang setelah matahari terbenam. Gelap. Hanya ada bapak pengumpul sampah plastik. Sesekali muncul cahaya dari pesawat yang akan landing di Ngurah Rai. Sebelah selatan kami ada cahaya namun cukup jauh. Lampu-lampu dari Beachwalk terhalang nyiur-nyiur Kuta. Monsoon Australia menggerakkan daun segala pepohonan Kuta, mendorong ombak ke pesisir, bertemu pasir lalu pecah.
Tiga hari setelah malam itu, kami kembali ke Kuta sebelum matahari terbenam. Terang, ramai dan gembira. Bahagia rasanya bisa melihat Kuta dalam dua suasana berbeda. Sebuah keluarga bermain layangan elang. Ada yang duduk, ada yang lari, ada yang berenang, ada yang foto-foto. Peselancar sibuk menaklukan ombak. Penjaga pantai hilir mudik, menjelang maghrib mereka sibuk meniup pluit.
Kuta tetap mempertahankan kesan alami pantainya. Pasir pantai dibiarkan melampar tanpa beton, tanpa bongkah-bongkah batu. Perkara wisata, Bali memang paling tahu meramu.
Kedonganan Fish Market and Grill
Kedonganan Fish Market and Grill adanya di Pantai Kedonganan, Kuta. Diapit Pantai Jimbaran dan Pantai Kelan.
Bila ingin menikmati suasana pantai di Bali sambil makan seafood, Kedonganan adalah pilihan tepat. Terdapat pasar ikan tradisional di sebelah timur Pantai Kedonganan, lengkap menjajakan berupa-rupa jenis seafood segar hasil tangkapan nelayan Bali.
Di sekitar pasar ikan berderet warung-warung yang siap mengolah seafood hasil hunting di pasar ikan. Pilihan bumbu dan teknik masak sesuai request pengunjung. Seafood di Kedonganan Fish Market and Grill terkenal segar dan terjangkau.
WNA dari berbagai negara banyak yang mengunjungi Kedonganan. Beberapa, dari bahasa misalnya, dapat kami deteksi asalnya. Sebut saja yang duduk di sebelah kanan meja kami, berasal dari Korea, di depan kami dari Jerman dan Amerika. Sewaktu berbelanja di pasar kami bertemu turis Jepang yang sedang menawar Lobster. Selebihnya perhatian kami diserap berupa-rupa keluarga laut.
Menikmati seafood sambil mendengar berbagai bahasa saling bertabrakan di sana sini, dilatari seni tradisional Bali dari radio warung, sungguh menyenangkan dan berbekas.
Malam 120 Bulan 1 Mimpi
Benarlah kata Andrea Hirata "Bermimpilah, niscaya Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu". Dan, sebelum meninggalkan Pulau Dewata pagi itu, saya menyadari bahwa bersama kesabaran, dan ketekunan, 'pelukan' Tuhan akan mengantarkan mimpi kita pada kenyataan.
Bali, 31 Agustus 2019.
___
PS: "Malam ... bulan, 1 mimpi" berasal dari percakapan tahun 2000-an dengan teman kos di Makassar, merupakan judul novel dari adik teman kami yang ditolak penerbit.
0 komentar:
Post a Comment