Bayangkan sebuah peta dunia yang dipenuhi titik berwarna menyala. Setiap titik adalah gunung api (Gambar 1). Sebagian sudah lama tenang, sebagian masih berasap, dan sebagian lagi sedang bergemuruh. Itulah gambaran dari Global Volcanism Program (GVP) edisi 2025, yang mendata gunung api berumur Holosen, yaitu yang terbentuk dan meletus dalam 11.700 tahun terakhir (GVP, 2025). Hasilnya? Ada ribuan gunung api yang tersebar di 79 negara plus Antartika. Dunia kita benar-benar “hidup” dari dalam.
Gunung api terbentuk terutama di tiga zona utama, yaitu di daerah pemekaran lempeng (divergen), di atas titik panas (hotspot), serta di zona konvergen baik antara samudra dengan benua maupun samudra dengan samudra (Gambar 2). Mayoritas gunung api dunia berada di Cincin Api Pasifik, sabuk panjang yang mengelilingi Samudra Pasifik. Sabuk ini terbentuk akibat pergerakan lempeng tektonik, ketika satu lempeng menunjam ke bawah lempeng lain dan memaksa magma naik ke permukaan. Hasilnya adalah jajaran gunung api yang siap meletus kapan saja, dari Selandia Baru, Filipina, dan Jepang hingga Alaska serta Amerika Selatan (Sigurdsson dkk, 2015).
Gambar 2. Ilustrasi penampang yang menunjukkan batas-batas utama lempeng bumi dan hubungannya dengan gunung api. Sumber gambar Karla Panchuk (2021), CC BY-NC-SA 4.0. Dimodifikasi oleh Karla dari U.S. Geological Survey (1999), Public Domain. Catatan tambahan tentang volume magma berdasarkan Fisher & Schmincke (1984).
Beberapa negara menonjol dengan jumlah gunung api Holosen terbanyak. Amerika Serikat menempati posisi pertama dengan 165 gunung api, terutama di Alaska dan Hawaii. Jepang berada di urutan kedua dengan 120 gunung api, banyak di antaranya meletus hampir tiap dekade. Rusia memiliki 114 gunung api, sebagian besar di Kamchatka, sedangkan Indonesia tercatat memiliki 107 gunung api, menjadikannya salah satu negeri paling rawan letusan. Di Amerika Latin, Chili menonjol dengan 90 gunung api, menjadikannya “koridor vulkanik” di sepanjang Pegunungan Andes (GVP, 2025).
Tidak semua gunung api dalam daftar ini sedang aktif. Sebagian tidur ribuan tahun, sementara yang lain baru saja erupsi. Pada Agustus 2025, tercatat 27 negara memiliki gunung api yang sedang erupsi. Indonesia memimpin dengan delapan gunung api aktif sekaligus, termasuk Merapi, Semeru, dan Lewotolok. Jepang menyusul dengan tiga gunung api, seperti Aira dan Suwanosejima. Ekuador mencatat aktivitas rutin Reventador dan Sangay, Italia terus diawasi karena Etna dan Stromboli yang tak pernah lama diam, sementara di Afrika, Republik Demokratik Kongo diingatkan oleh bahaya Nyamulagira dan Nyiragongo yang berulang kali meletus (GVP, 2025).
Data gunung api tidak hanya dibedakan menurut bukti geologi, tetapi juga menurut periode catatan sejarah. Ada tiga kategori utama (Gambar 3). Pertama, Holosen, yaitu sekitar 11.700 tahun terakhir, yang dipakai untuk mendefinisikan gunung api aktif secara geologi. Kedua, sejak 1800 CE, yang menjadi titik penting karena catatan letusan mulai lebih konsisten secara global. Era kolonial dan ekspedisi maritim memperluas pengamatan ke berbagai belahan bumi, dan peristiwa besar seperti Tambora 1815 atau Krakatau 1883 terdokumentasi dengan baik. Ketiga, sejak 1960 CE, yang menandai lahirnya era vulkanologi modern (GVP, 2025).
Sejak periode 1960, jaringan seismograf, pengamatan satelit, serta laporan Smithsonian Institution membuat data aktivitas vulkanik semakin lengkap dan seragam (Newhall & Self, 1982; Sigurdsson dkk, 2015). Terdapat pula catatan sejak 1500 CE, yang menandai periode awal catatan tertulis dari kronik, dokumen pelayaran, atau arsip kerajaan, meski catatan ini bias ke wilayah tertentu seperti Mediterania, Jepang, atau Amerika Tengah (Siebert dkk, 2011).
Gambar 3. Grafik perbandingan jumlah gunung api Holosen, aktif sejak 1800 M, dan aktif sejak 1960 M untuk 10 negara teratas (Diilustrasikan dari data GVP, 2025).
Jika dilihat dari tren aktivitas, Indonesia memimpin jumlah gunung api yang meletus sejak 1800 dan 1960, dengan lebih dari 70 erupsi dalam dua abad terakhir. Jepang dan Amerika Serikat memiliki total gunung api Holosen lebih banyak, tetapi tingkat erupsi modernnya lebih rendah dibanding Indonesia. Negara-negara seperti Chili, Ekuador, dan Papua Nugini juga masuk dalam daftar kawasan paling sibuk secara vulkanik (GVP, 2025). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah total gunung api tidak selalu sebanding dengan tingkat aktivitas mereka di era modern.
Gunung api memang membawa ancaman. Letusan besar bisa meluluhlantakkan kota, mengubah iklim, hingga memaksa ribuan orang mengungsi. Tetapi, mereka juga membawa berkah berupa tanah yang subur, panorama alam menakjubkan, dan energi panas bumi yang dapat dimanfaatkan. Indonesia, misalnya, bukan hanya salah satu negara dengan risiko letusan tertinggi, tetapi juga memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia (Sigurdsson dkk, 2015).
Data GVP (2025) menunjukkan pada kita bahwa gunung api bukan sekadar fenomena lokal, tetapi bagian dari sistem global yang menghubungkan daratan, samudra, dan atmosfer. Dari jejak lava ribuan tahun lalu, catatan tertulis sejak abad ke-16, dokumentasi global setelah 1800, hingga pemantauan real-time pasca-1960, gunung api merekam bukan hanya sejarah Bumi, tetapi juga perkembangan cara manusia mengenali dan mengantisipasi alam.
Referensi
Global Volcanism Program (GVP). 2025. Volcanoes of the World (v. 5.3.1; 6 Aug 2025). Smithsonian Institution. https://doi.org/10.5479/si.GVP.VOTW5-2025.5.3
Fisher, R. V., and Schmincke, H.-U. (1984). Pyroclastic Rocks. Springer Verlag, Berlin.
Siebert, L., Simkin, T., & Kimberly, P. 2011. Volcanoes of the World. Univ of California Press.
Sigurdsson, H., Houghton, B., McNutt, S., Rymer, H., & Stix, J. (Eds.). 2015. The encyclopedia of volcanoes. Elsevier.
Newhall, C. G., & Self, S. 1982. The volcanic explosivity index (VEI) an estimate of explosive magnitude for historical volcanism. Journal of Geophysical Research: Oceans, 87(C2), 1231-1238.
0 komentar:
Post a Comment